Detail Publikasi Jurnal

0 komentar
Liberasi dalam Proses Pembelajaran Ilmu Sosial
blog
Keterangan & diskripsi gambar

Pendahuluan

Proses pembelajaran adalah bagian yang sangat penting dalam pendidikan. Melalui proses pembelajaran, tujuan pendidikan untuk memanusiakan manusia dapat terwujud. Oleh karena pentingnya proses pembelajaran, maka hal tersebut harus dilakukan sebaik mungkin. Proses pembelajaran yang baik akan menghasilkan output yang baik. Artinya, jika proses pembelajaran yang terjadi mengabaikan nilai-nilai kebaikan, maka output yang dihasilkan dari proses tersebut bukanlah perwujudan dari nilai-nilai kebaikan yang diharapkan oleh pendidikan itu sendiri.

Proses pembelajaran bukanlah proses membagi pengetahuan (transfer knowledge) semata. Tetapi dalam proses tersebut ada transfer nilai dari pengajar (guru/dosen) kepada peserta didik (siswa/mahasiswa), atau bahkan sebaliknya. Proses pembelajaran yang baik tidak hanya menjadikan guru sebagai center of knowledge, tetapi juga memposisikan murid sebagai subjek yang mempunyai pengetahuan. Guru adalah fasilitator yang berperan dalam mengarahkan, memberikan pilihan, memberikan pandangan seluas-luasnya kepada para murid dalam proses pembelajaran.

Proses pembelajaran ilmu sosial (social science) berbeda dengan pembelajaran ilmu alam (natural science). Jika ilmu alam dipelajari dengan mengamati dan mengkaji fenomena alam, maka ilmu sosial ada untuk mengkaji fenomena sosial yang berkaitan dengan manusia. Manusia adalah makhluk yang dinamis dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, dalam melakukan pengkajian ilmu sosial, tidak diindahkan menganut paradigma yang kaku. Banyak hal yang harus diperhatikan dan ditinjau ketika membahas ilmu sosial. Tak hanya itu, nilai-nilai yang di bagikan dan digunakan harus mengindahkan manusia itu sendiri, baik sebagai subjek yang mengkaji maupun sebagai objek yang dikaji. Salah satu nilai yang perlu diperhatikan adalah liberasi.

Liberasi adalah istilah yang digunakan Kuntowijoyo ketika ia membahas Islam sebagai ilmu, lebih khusus lagi ketika ia mengembangkan ilmu sosial profetik. Dalam kajiannya, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa ada tiga hal yang harus ada dalam pembelajaran ilmu-ilmu sosial profetik. Yang pertama adalah humanisasi, liberasi, dan transendensi. Ketiga nilai tersebut pada dasarnya harus saling bersinergi dalam pembelajaran ilmu sosial. Namun, untuk tidak meluasnya pembahasan dalam tulisan ini, penulis ingin mengulas tentang liberasi dalam proses pembelajaran ilmu sosial.

Liberasi Dalam Proses Pembelajaran Ilmu Sosial

Kuntowijoyo melihat bahwa ilmu sosial saat ini ada mengalami kemandegan. Dalam artian, persoalan-persoalan yang dibahas dan dikaji seperti berputar-putar pada persoalan yang sama. Oleh karena itu, menurut sosilog UGM tersebut, saat ini yang dibutuhkan adalah ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tapi juga memberi petunjuk kearah mana transformasi ilmu sosial itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Menurutnya, ilmu sosial yang baik tidak hanya sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik tertentu. Dengan demikian, ilmu sosial akan memuat kandungan nilai dari cita cita perubahan yang diidamkan masyarakatnya.

Pemikiran diatas akhirnya melahirkan pemikiran bahwa ilmu sosial harus dipalajari dan dikembangkan dengan mengindahkan nilai liberasi. Tujuan liberasi adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Liberasi mengharuskan adanya penyatuan rasa dengan para kaum miskin, dan adanya keinginan untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri. Jadi, inti dari liberasi adalah pembebasan.

Jika hal ini dilihat dalam proses pembelajaran ilmu sosial. Maka implementasinya adalah pada praktik pengajaran dari guru/dosen kepada siswa/mahasiswa, ataupun dari siapapun kepada siapapun. Yang menjadi garis besar dalam liberasi adalah tidak ada kekakuan dalam memandang suatu fenomena. Artinya, masing-masing subjek dalam proses pembelajaran mempunyai posisi yang sama untuk menyalurkan pengetahuan yang dimilikinya. Seorang guru/dosen yang menganut nilai liberasi ini akan lebih menghargai pendapat siswa/mahasiswa yang diajarnya, begitu pula sebaliknya. Adanya sikap menghargai inilah yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang dapat memanusiakan manusia.

Implementasi yang lebih jauh lagi dalam proses evaluasi pembelajaran misalnya untuk seorang pengajar. Pengajar dengan nilai liberasi yang baik tidak boleh menyalahkan pendapat peserta ajarnya, sekalipun unsur subjektif pengajar tidak sejalan dengan pendapat peserta ajar tersebut. Ini adalah pembelajaran yang berusaha menempatkan manusia pada posisinya, yakni mempunyai pengetahuan sendiri-sendiri berdasarkan pengalaman yang dialaminya. Maupun sejarah akademik, ataupun histori kehidupan personal yang pernah dijalaninya.

Selebihnya, implementasi yang lebih praktis lagi adalah pada proses pembelajaran dalam kelas. Seorang pengajar ilmu sosial yang menganut nilai liberasi tidak akan bersifat kaku dan menjadi center of knowledge dalam proses tersebut. Ia akan memberikan kebebasan kepada peserta ajarnya untuk mencari pengetahuan seluas-luasnya kemudian mengembangkan bersama dalam diskusi kelas.

Pernah terjadi dan sudah sering kita dengar, adanya guru/dosen yang tidak jadi memberikan kuliah karena alasan teknis. Misalnya listrik mati sehingga tidak dapat menggunakan LCD. Artinya, adanya ketergantungan dari teknologi membuat kebebasan kita seakan terbelenggu. Ketergantungan pada teknologi hanyalah sebuah contoh kecil lumpuhnya kebebasan berpikir subjek dalam proses pembelajaran. Masih banyak belenggu lain yang melumpuhkan kebebasan sehingga proses pembelajaran pada akhirnya tidak berlangsung. Mislanya belenggu politik di seklah/kampus. Serta belenggu-belenggu lain seperti persoalan personal.

Nilai liberasi dalam proses pembelajaran ilmu sosial memang tidak hanya harus dipahami oleh pengajar saja. Peserta ajar seharusnya memahami bagaimana karakteristik ilmu sosial yang bersifat dinamis. Artinya, Rasa kebebasan berekspresi dan mencari seluas-luasnya pengetahuan harus dimiliki juga oleh seorang yang sedang dalam proses belajar, yakni siswa/mahasiswa. Dengan pemahaman yang baik dari semua subjek yang terlibat dalam proses pembelajaran tersebut, maka cita-cita liberasi sebagai bagian dalam upaya perwujudan tujuan pendidikan semakin mudah untuk dicapai. Ada sinergi yang berjalan bersama dengan dasar pemahaman pihak-pihak dalam proses pembelajaran, khususnya ilmu sosial. Inilah yang akna menjadi bagian dalam pencapaian tujuan pendidikan, khususnya di Indonesia.

Referensi

- Kuntowijoyo, 2005. “Islam Sebagai Ilmu”. Teraju: Jakarta

- www.academia.edu/5545562/Pebedaan_Ilmu_Alam_Dan_Ilmu_Sosial_Dilihat_Dari_Dasar_Ontologis_Dan_Empiris

- http://file.upi.edu/Direktori/fpbs/jur._pend._bahasa_daerah/195901191986011-usep_kuswari/Hakikat_Belajar_dan_Pembelajaran.pdf

*Penulis : Megafirmawanti (Freshgraduate Uin Sunankalijaga Yogyakarta, Anggota tim jurnalis Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Propinsi DI )


0 Komentar

Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!

JURNAL LAINNYA

Kirim pertanyaan, saran, dan masukan anda kepada kami