Detail Publikasi Jurnal

0 komentar
Mendekatkan Pelajar dengan Bahasa dan Aksara Jawa
blog
Keterangan & diskripsi gambar

Mendekatkan Pelajar dengan Bahasa dan Aksara Jawa
Oleh: Thoriq Tri Prabowo
Alumnus Magister IIS Konsentrasi Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Pascarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
 
Jas Merah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!
Begitu pidato Ir. Soekarno, Presiden pertama sekaligus Sang Proklamator kemerdekaan Indonesia. Makna dari kutipan pidato Ir. Soekarno tersebut ialah tujuan dari mempelajari sejarah bukannya untuk kembali mengungkit-ungkit masa lalu, melainkan untuk menjadikan sejarah sebagai penerang untuk masa depan yang lebih baik. Artinya, persoalan-persoalan di masa sekarang ini, bisa saja penyelesaiannya dapat kita ambil dari peristiwa masa lalu.
 
Mempelajari peristiwa masa lalu, tentu erat kaitannya dengan mempelajari sejarah. Dan mempelajari sejarah juga tidak bisa dilepaskan dengan teks, manuskrip, atau arsip masa lalu yang mengandung nilai historis. Untuk itu preservasi, konservasi, dan restorasi arsip masa lampau sangat perlu dilakukan untuk menyelamatkan kandungan informasi dan fisiknya yang sekarang relatif sudah berumur.
 
Sebelum naskah-naskah bersejarah tersebut termakan oleh usia, tentu yang tersisa kini tidak boleh disia-siakan, terutama oleh para pelajar, dan kemauan untuk membaca ialah kuncinya. Dalam hirarki DIKW (Data, Information, Knowledge, and Wisdom), diketahui bahwa untuk mencapai sebuah kebijaksanaan, manusia memerlukan pengolahan data, informasi, dan pengetahuan terlebih dahulu. Membaca merupakan cara yang paling efektif untuk memperoleh data, informasi, dan pengetahuan, bahkan sebenarnya disadari atau tidak membaca merupakan kegiatan sehari-hari manusia, karena hampir di setiap tempat terdapat tulisan-tulisan yang tidak bisa dihindari.
 
Para pelajar sebagai generasi penerus bangsa tentu perlu menggali nilai-nilai yang terkandung di dalam naskah-naskah yang mempunyai nilai sejarah melalui kegiatan membaca. Namun menyadarkan generasi muda untuk membaca, terlebih membaca teks berbahasa daerah nampaknya memiliki tantangan, terutama di era globalisasi ini, dimana bahan bacaan cukup didominasi oleh teks berbahasa Inggris.
 
 
Globalisasi dan tantangan budaya daerah
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu pesat, bahkan terasa sangat susah untuk mengikutinya. Kemudahan dan variasi media yang tidak melulu berbentuk bahan bacaan membuat para pelajar lambat laun mencari informasi melalui media selain teks. Para pelajar cenderung menginginkan informasi dengan media dan visualisasi yang menarik, contoh video. Youtube, media sosial penyedia konten video saat ini menjelma tidak hanya sebatas media hiburan, melainkan penyedia informasi kreatif yang banyak dituju para pelajar ketimbang perpustakaan atau museum.
 
Hal di atas tentu turut membentuk karakter generasi muda sekarang yang cenderung progresif, dan haus akan kemajuan. Kemajuan tersebut biasanya berkiblat kepada negara-negara maju, seperti negara di benua Eropa dan Amerika. Pelajar kita cenderung mengikuti cara berpakaian, gaya hidup, bahkan bahasa mereka, yaitu bahasa Inggris yang mereka labeli ‘keren’.
 
Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar internasional memang sangat perlu dipelajari oleh pelajar guna menjalin relasi dan kesempatan berkembang secara global. Hal tersebut tentu patut didukung, bahkan dikampanyekan kepada pelajar kita agar mampu bersaing di kancah global kelak. Satu hal yang menjadi catatan kepada para pelajar ialah bahwa mereka tetap harus mengenali jati diri mereka sebagai orang Indonesia. Artinya, sejauh apapun mereka belajar bahasa dan budaya asing, mereka tetap tidak boleh melupakan budaya daerah dan budaya nasional mereka.
 
Seperti teori populer yang sering digaungkan, budaya nasional terbentuk dari kumpulan budaya daerah, kemudian budaya tersebut diisi oleh nilai dan norma nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa mencintai bahasa dan budaya daerah berarti turut menjunjung tinggi nasionalisme. Banyak orang yang menggemborkan cinta tanah air, namun sebenarnya malas mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah adanya sikap gengsi untuk menggunakan bahasa daerah.
 
Perkembangan teknologi dan derasnya arus globalisasi tidak bisa disalahkan atas rendahnya kecintaan pelajar kita terhadap budaya dan bahasa daerah. Karena jika para pelajar tidak mengikuti perkembangan teknologi dan tidak memahami arus persaingan global, mereka juga akan tertinggal. Seperti yang kita ketahui bersama, menumbuhkan kecintaan pelajar terhadap budaya dan bahasa daerah di tengah gerusan globalisasi tentu tidaklah mudah, untuk itu diperlukan kerjasama dari pelbagai elemen dan juga diperlukan kreativitas untuk menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap budaya dan bahasa daerah.
 
 
Bersama-sama merawat bahasa dan aksara Jawa
Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang sangat populer di Indonesia ini, bahkan mungkin beberapa orang yang berada di luar tanah Jawa pun sedikit-banyak memahami kalimat berbahasa Jawa. Hal tersebut terjadi karena pada beberapa karya kreatif seperti film dan musik, unsur-unsur dari budaya dan bahasa Jawa banyak digunakan disana. Namun gencarnya promosi budaya dan bahasa Jawa tersebut tidak lantas membuat pelajar lebih mencintai budaya dan bahasa Jawa. Hal tersebut terbukti, pelajaran bahasa Jawa masih menjadi momok bagi mereka, terutama untuk sub materi membaca dan menuliskan aksara Jawa.
 
Jika menengok kepada sejarah, bahasa dan tulisan beraksara Jawa dulu banyak digunakan pada hampir seluruh kegiatan manusia di tanah Jawa. Bahkan tradisi surat menyurat antarkerajaan pun ditulis menggunakan bahasa dan aksara Jawa. Terlibatnya bahasa dan aksara Jawa pada sebagian besar hidup orang Jawa tersebut tentu menjadikannya bukan hanya sekadar bahasa dan aksara biasa, tetapi juga memiliki nilai agung seperti yang dicontohkan oleh para leluhur.
 
Nilai-nilai luhur tersebut masih bisa ditelusuri jejaknya melalui manuskrip-manuskrip yang tersimpan dalam perpustakaan dan sumber informasi lainnya. Sayangnya orang yang mampu membaca dan menerjemahkannya tidaklah banyak, bahkan untuk orang Jawa sendiri, dan justru banyak peneliti dari mancanegara yang tertarik mempelajarinya. Hal tersebut tentunya sangat ironis, jika kemudian kita harus belajar budaya, bahasa, dan aksara Jawa kepada orang asing.
 
Sebaliknya, para pelajar Indonesia saat ini cenderung lebih memahami budaya asing ketimbang budaya sendiri, hal tersebut disebabkan salah satunya oleh kemudahan dalam mengakses informasi melalui internet. Jika hal tersebut dibiarkan, tentu bahasa dan aksara Jawa hanya akan menjadi cerita pada generasi berikutnya. Untuk itu, sebelum hal tersebut terjadi, maka rasa cinta terhadap bahasa dan aksara Jawa sangat perlu ditanamkan kepada pelajar kita.
 
Munculnya beragam kreativitas untuk menyelaraskan kemajuan teknologi dan rasa cinta terhadap budaya lokal sangat perlu didukung. Sebagai contoh pengembangan pelbagai aplikasi yang menggunakan bahasa dan aksara Jawa. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa dan aksara Jawa tidak anti terhadap perkembangan teknologi, bahkan bisa melaju beriringan.
 
Pusat pengelola naskah-naskah beraksara Jawa seperti; perpustakaan, lembaga arsip, dan museum perlu bekerja lebih keras lagi dalam mengakuisisi dan mempromosikan koleksinya. Mereka perlu melakukan terobosan dengan menyajikan atau mengemas ulang informasi yang bermuatan aksara Jawa ke dalam media yang menarik, kreatif, dan diminati pelajar yang notabenya merupakan generasi milenial. Mengadopsi metode dan media yang diciptakan oleh orang asing, guna meningkatkan kecintaan pelajar terhadap bahasa dan aksara Jawa tentulah tidak salah, bahkan justru dianjurkan.
 
Sekolah juga bisa menerapkan metode yang kreatif untuk menumbuhkan kecintaan pelajar terhadap budaya dan bahasa Jawa. Misalnya dengan menentukan hari tertentu sebagai hari wajib berbahasa Jawa. Pada mulanya memang hal tersebut terkesan memaksa, namun lambat laun para pelajar akan terbiasa, minimal satu hari dalam seminggu mereka terbiasa menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar.
 
Sekeras apapun usaha yang dilakukan oleh praktisi di akar rumput, hasilnya tidak akan merata apabila pihak pemangku kebijakan tidak turut serta dalam aksi tersebut. Pihak pemangku kebijakan juga sangat diharapkan partisipasinya untuk mendukung pelestarian penggunaan bahasa dan aksara Jawa. Pihak pemangku kebijakan dalam hal ini ialah pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat melalui lembaga dan kementerian yang terkait. 
 
Sebagai contoh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) sudah memiliki peraturan daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur mengenai Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai daerah istimewa penjaga kebudayaan Jawa tentu sangat diharapkan berperan aktif dalam melestarikan aksara Jawa tersebut. DIY yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY tentu harus lebih giat dan agresif lagi dalam mengembangkan kebudayaan Jawa, khususnya dalam hal ini ialah merawat bahasa dan aksara Jawa yang saat ini mulai jarang digunakan.
 
Tidak adil rasanya ketika sudah mengritik penggunaan bahasa dan aksara Jawa yang begitu minim oleh para pelajar, namun tidak mengapresiasi karya yang sudah diciptakan. Salah satu bentuk penyelarasan teknologi dengan budaya, bahasa, dan aksara Jawa ialah munculnya Wikipedia bahasa Jawa. Wikipedia yang merupakan semacam ensiklopedia daring, kini juga tersedia dalam bahasa dan aksara Jawa. Wikipedia tersebut bisa diakses melalui tampilan desktop maupun mobile melalui tautan: https://jv.m.wikipedia.org 
 
Jika sudah ada sinergi yang apik antara pemangku kebijakan, pihak sekolah, dan lingkungan masyarakat, maka menumbuhkan kecintaan pelajar terhadap bahasa dan aksara Jawa bukanlah hal yang mustahil. Untuk itu perlu ada sinergi dan kemauan yang kuat dari pelbagai elemen untuk mulai mengembalikan marwah bahasa dan aksara Jawa. Tentu akan indah sekali ketika bahasa dan aksara Jawa yang merupakan salah satu produk asli budaya bangsa bisa berjalan beriringan dengan perkembangan infrastruktur dan teknologi. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam naskah yang beraksara dan berbahasa Jawa pun pada akhirnya bisa diserap dan diimplementasikan para pelajar sebagai generasi penerus bangsa.
 


0 Komentar

Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!

JURNAL LAINNYA

Kirim pertanyaan, saran, dan masukan anda kepada kami