Detail Publikasi Jurnal

0 komentar
PROBLEMATIKA PENDIDIKAN PADA ERA INDUSTRIALIASASI DAN PRINSIP KORPORASI DALAM PENGELOLAAN PENDIDIKAN
blog
Keterangan & diskripsi gambar

       Pada abad ke -21 ini negara-negara di dunia, tengah dihadapkan pada era industrialisasi dengan berbagai kompleksitasnya. Problematika industrialisasi secara umum dialami baik oleh negara-negara yang sudah membuka pintu industrialisasi semisal Indonesia, maupun negara-negara yang sudah "masuk" dalam ranah industrialisasi adalah masalah ketenagakerjaan

        Oleh karena proses industrialisasi itu sendiri ditandai dengan makin kompleksnya permasalahan ketenagakerjaan dan berkembangnya variasi keterampilan baru di dalam dunia kerja, miskinya tenaga kerja yang berkualifikasi sebagaimana yang dituntut oleh keterampilan baru tersebut, adalah bagian dari permasalahan ketenagakerjaan di negara-negara industri.

       Futurolog, Daniel Bell (2001:96) menggambarkan pada saat ini terjadi pergeseran konsentrasi sumber investasi dalam proses industrialisasi; di negara-negara pra-industri  konsentrasi sumber investasinya terletak pada tanah-tanah pertanian, di negara-negara industri terletak pada mesin, dan di negara-negara pasca industri terletak pada pengetahuan.

        Apa yang dilukiskan oleh Daniel Bell dapat dijelaskan terjadinya pergeseran disiplin ketrampilan dalam proses industrialisasi itu sendiri. Negara-negara pra-industri yang memasuki industri akan mengalami pergeseran ketrampilan pertanian ke ketrampilan permesinan, sedangkan negara-negara industri yang memasuki pasca industri akan mengalami pergaseran kertrampilan permesinan  ke ketrampilan pengetahuan (informasi).  Pergeseran disiplin ketrampilan inilah yang kemudian menimbulkan masalah ketenagakerjaan (baca: pengangguran) yang makin kompleks.

       Dalam posisi tersebut  sistem pendidikan yang diaplikasikan di Indonesia seringkali menjadi lontaran ketidakpuasan seolah-olah sistem pendidikan kita kurang sanggup mengantisipasi problematika ketenagakerjaan yang bakal muncul. Ini semua memang bukan tanpa alasan sama sekali karena di negara-negara manapun masyarakatnya senantiasa mempunyai harapan yang besar, agar sistem pendidikan sanggup menjawab tantangan ketenagakerjaan, meski hal itu tidak dapat diartikan bahwa satu-satunya tugas yang diemban lembaga pendidikan adalah menjawab masalah itu ( Ben Senang Galus, Bernas 9/9/2004:4)

       Menghadapi tantangan tersebut pemerintah Indonesia sepertinya belum menunjukkan geliat membangun pendidikan bermutu dengan sungguh-sungguh. Hal ini terbukti dengan adanya alokasi dana yang sedikit terhadap pengembangan pendidikan dari tahun ke tahun. Berbagai inovasi belum dilakukan seperti pembangunan gedung, laboratorium, ruang praktik, peralatan, perabot, perbaikan gedung sekolah yang rusak, penataran guru, penyempurnaan kurikulum sesuai dengan laju iptek.

         Paling tidak, hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian Bank Dunia (2010) bahwa sekitar 52 prosen tamatan pendidikan menjadi penganggur  (Majalah The Economist, 2010:9). Banyak pencari kerja tamatan pendidikan tidak mendapat pekerjaan yang layak dikarenakan tidak memiliki kompetensi yang dipersyaratkan oleh dunia kerja. Gejala semacam ini semakin diperburuk dengan adanya beberapa dunia kerja mulai berpaling mencari pekerja lulusan luar negeri ketimbang lulusan dalam negeri.

       Di sisi lain, perekonomian di Indonesia kini dan di masa mendatang tidak lagi dapat sepenuhnya mengandalkan hasil ekspor migas sebagai tulang punggungnya. Ini berarti dituntut adanya peningkatan produksi komoditas nonmigas jika ingin meningkatkan devisa negara. Konsekwensinya, sektor industri hulu maupun hilir serta sektor jasa perlu ditingkatkan.

      Perubahan teknologi yang begitu pesat juga membawa perubahan-perubahan dalam permintaan dunia kerja. Hal ini tak sedikit dampaknya terhadap perguruan tinggi.  

 

B.   Tiga Ekstremitas

              Problematika ketenagakerjaan yang dihadapi oleh Indonesia   pada umumnya bergerak pada tiga ekstremitas (Ben Senang Galus, Warta Guru 2005:15), yakni ekstremitas kuantitas, ekstremitas kualitas, ekstremitas relevansitas. Ekstermitas yang pertama, kuantitas, pada umumnya berkisar pada kelebihan proporsi tenaga kerja dengan kualifikasi tidak terampil (unskilled), sedangkan proporsi tenaga kerja dengan kualifikasi trampil (skilled) mengalami kekurangan.

       Ekstremitas yang kedua, kualitas, pada umumnya berkisar pada belum siapnya tenaga kerja dalam menghadapi tuntutan ketrampilan baru sebagai bagian dari kompleksitas industrialisasi; sementara itu ekstremitas ketiga, relevansitas, bergerak pada masih banyaknya tenaga kerja yang bekerja pada bidang yang tak relevan dengan disiplin ketrampilan.

       Sebagai akibat dari ketiga ekstremitas problematika ketenagakerjaan tersebut munculnya berbagai kasus pengangguran dan berdampak pada rendahnya produktivitas nasional.

       Dalam beberapa tahun terakhir ini proses industrialisasi di Indonesia berjalan pelan-pelan tapi pasti. Bersama dengan jalannya proses industrialisasi di Indonesia maka di sana-sini terjadi berbagai pergeseran ketrampilan, dari ketrampilan pertanian yang semula menjadi "trade mark" kelompok mayoritas masyarakat, menuju terciptanya ketrampilan permesinan yang menjadi "kebanggaan baru".

       Pada berbagai sektor pembangunan maka peran ketrampilan pertanian menjadi makin menipis dan digantikan dengan semakin berperannya ketrampilan permesinan.

      Pabrik-pabrik dan industri-industri baru bermunculan di sana-sini, mesin-mesin pengolah sumber alam semakin bertambah banyak, perusahaan-perusahaan dan pasar-pasar besar tumbuh bak cendawan di musim penghujan; dan itu semua memerlukan ketrampilan baru yang makin spesifik dan makin tak "terkejar" oleh dunia pendidikan.

       Keadaan tersebut di atas menimbulkan kesenjangan yang makin besar antara ketrampilan yang dituntut oleh industri perusahaan dan pasar-pasar "besar" di satu pihak dengan ketrampilan "konvensional" yang masih dimiliki oleh lembaga pendidikan kita di tanah air. Terjadilah kesenjangan antara "demand" dengan "supply" dan akhirnya berjangkitlah penyakit sosio-ketenagakerjaan yang sangat ditakuti oleh setiap orang, pengangguran, menjadi sulit atau bahkan tidak dapat dibendung (Ben Senang Galus, Kompas 24/6/2006). Oleh karena itu sebuah solusi dini yang harus dilakukan oleh lembaga pendidikan ialah melakukan perubahan paradigma pengembangan pendidikan, agar sesuai dengan tuntutan kebutuhan tenaga kerja ( Tomy Bendel, dkk, 1993:51).

 

Paradigma Perubahan Dalam Pendidikan

 

 

Paradigma lama

 

Paradigma baru

1

Sistem supply driven atas kebutuhan sosial masyarakat

 

Sistem deman driven yang dipacu oleh kebutuhan pasar kerja

2

Program pendidikan ditentukan secara sepihak ( oleh Depdiknas)

 

Program pendidikan disusun, dilaksanakan, dan menjadi tanggungjawab bersama antara Pemerintah dan masyarakat (dunia kerja)

3

Tidak mengakui kemampuan yang telah dimiliki sebelumnya

 

Secara tegas mengakui kompetensi dari mana dan bagaimanapun caranya

4

Pendidikan adalah proses pembelajaran di sekolah, di perguruan tinggi, keahlian yang diperoleh di luar sekolah/PT bukan menjadi tanggungjawab sekolah/PT tidak diakui

 

 

Pendidikan dan dunia usaha/industri tidak dipisahkan

 5

Sistem berbasis sekolah/PT dengan orientasi pada program studi atau curriculum oriented

 

Sistem pendidikan dan pelatihan keterampilan mengacu kepada profesi dan keterampilan yang terstandar

6

Berorientasi pada penyelesaian mata pelajaran/kuliah dalam kurikulum standar (curriculum based program)

 

Berorientasi pada penguasaan kompetensi bidang keahlian tertentu  (competencies based program )

7

Pengelolaan dan pelaku pendidikan merasa paling berhak, paling tahu, dan paling bisa menangani pendidikan

 

Lembaga pendidikan merupakan milik bersama Depdiknas dan masyarakat  (terutama dunia kerja) yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menentukan program dan tanggungjawab dalam pelaksanaannya.

8

Program sekolah/PT bersifat kaku karena diatur secara ketat oleh kurikulum dan petunjuk pelaksanaan yang menuntut keseragaman pelaksanaan di lapangan

 

 

Program bersifat luwes dan memberi peluang kepada dunia kerja untuk melakukan improvisasi

9

Sepenuhnya bergantung kepada biaya yang disediakan oleh pemerintah

 

Setiap lembaga pendidikan didorong untuk dapat memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya melalui sharing dengan dunia usaha/industri, Unit Produksi,   kontribusi pemerintah atau sumber lainnya.

10

Budaya sekolah/PT; dengan ciri umum perilaku santai, mutu apa adanya, dan tanpa wawasan ekonomi.

 

Menyesuaikan diri dengan budaya industri yang berorientasi pada efisien, produktivitas, dan mutu.

 

C   Permintaan Tenaga Kerja

       Idealnya, tuntutan dunia kerja kini seharusnya membahas masalah jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, jenis pekerjaan itu serta persyaratan untuk memasuknya, kapan jenis pekerjaan itu ada, dan di mana secara  geografis pekerjaan tersebut ada. Kelengkapan data yang terperinci semacam ini akan berguna untuk masukan dalam pembuatan kebijakan pendidikan. Jika program pendidikan kurang selaras dengan tuntutan dunia kerja, maka intervensi terhadap dunia pendidikan dapat dilakukan.

      Sebagaimana telah saya kemukakan terdahulu bahwa devisa ekspor migas tidak lagi menjadi satu-satunya tulang punggung perekonomian kita. Oleh karena itu sektor nonmigas harus ditingkatkan untuk menaikkan devisa. Langkah ini mempunyai implikasi yang besar terhadap ketenagakerjaan. Daya serap ekonomi kita cukup efektif dan mudah-mudahan dengan adanya deregulasi akan membantunya, maka sektor-sektor industri dan jasa maupun yang lain akan memberikan prospek yang cerah.

      Menurut berita pasar kerja dari Departemen Tenaga Kerja RI (2010), jumlah permintaan tenaga kerja untuk masing-masing sektor kelihatannya ada kecenderungan permintaan tenaga kerja pada sektor jasa, sektor industri pengolahan, dan sektor pertanian termasuk peternakan dan lain-lainnya, yang selalu lebih besar dari pada sektor-sektor usaha lainnya. Kecenderungan yang demikian agaknya ada benarnya sebab pemerintah sedang menggalakan sektor nonmigas untuk mengatasi kesulitan ekonomi.

      Kesempatan berusaha akan meningkat dan dengan sendirinya perluasan kesempatan kerja dapat ditingkatkan pula. Jika perluasan kesempatan kerja dapat ditingkatkan, maka jumlah permintaan/kebutuhan tenaga kerja juga akan meningkat.

      Teknologi telah maju dengan pesatnya. Kemajuan teknologi yang pesat ini tak ragu lagi akan merubah cara orang bekerja. Semula banyak pekerjaan yang menmbutuhkan ketrampilan fisik, tetapi dengan adanya kemajuan teknologi, maka banyak pekerjaan yang tidak lagi membutuhkan ketrampilan fisik, melainkan justru membutuhkan ketrampilan berpikir. Jadi hal ini terjadi apa yang disebut "deskilling" ( Judith Chapman, 1990:86).

        Kemajuan teknologi akan membawa beberapa dampak terhadap kebutuhan tenaga kerja. Pertama adalah perubahan macam pekerjaan. Dengan adanya teknologi  baru, maka timbulnya pekerjaan baru dimungkinkan. Kedua, persyaratan ketrampilan untuk memasuki pekerjaan juga berubah. Mungkin macam pekerjaan masih sama, akan tetapi karena teknologi lebih canggih, maka diperlukan ketrampilan lain untuk pekerjaan tersebut. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan juga akan berubah. Kemungkinan permintaan tenaga kerja akan lebih banyak dengan diciptakannya  teknologi baru. Kemungkinan lain, terjadinya penurunan jumlah kebutuhan tenaga kerja  bisa terjadi disebabkan adanya teknologi modern, jumlah tenaga manusia bisa tereduksi.

        Dengan adanya perubahan teknologi yang pesat ini, keadaan pasar kerjapun juga akan berubah dengan pesat pula. Maka perencanaan dunia pendidikan umumnya diarahkan ke pasar kerja, ini berarti bahwa dunia pendidikan dituntut untuk mengikuti arus perubahan pasar kerja.

        Payaman Simandjuntak (1995:72) berkomentar bahwa:" Dalam jangka panjang, memang diperlukan perencanaan dunia pendidikan yang berorientasi pada pasar kerja. Namun, betapapun pendidikan formal direncanakan, sangat sulit untuk mampu mengyediakan tenaga yang otomatis cocok dengan dunia kerja. Dunia pendidikan umumnya memerlukan waktu yang relatif panjang, sedang teknologi berubah dengan cepat.

      Sehingga dunia pendidikan yang didisain cocok dengan teknologi sekarang ini, lima tahun yang akan datang sudah ketinggalan jaman. Di samping itu, sistem pendidikan yang demikian menjadi akan sangat mahal, sedangkan relevansinya akan segera "out of date". Agaknya argumentasi Payaman cukup rasional dan perubahan teknologi yang sedemikian cepat akan sulit diikuti oleh dunia pendidikan.

       Penyediaan tenaga kerja industri selalu tertinggal oleh perkembangan industri, kesenjangan antar dunia usaha dan lingkungan pendidikan selalu muncul akibat pesatnya perkembangan industri yang nota bene disebabkan oleh perubahan teknologi yang sedemikan pesat (Kompas 23 November 2010).

       Dalam kerangka pengembangan pendidikan era indusrialisasi guna mendukung keberhasilan pembangunan ada tiga teori yang bisa kita rujuk yaitu; Teori Fungsi  (Functional Theory), Teori Modal Manusia ( Human Capital Theory), dan Teori Gerakan Masyarakat ( Social Movement Theory). Teori pertama, functional theory, menekankan tentang pentingnya hubungan yang erat antara pendidikan dengan perkembangan sosial ekonomi. Teori ini memberi makna bahwa program pendidikan diarahkkan pada upaya untuk menumbuhkan dan mengembangkan keseimbangan antara pelestarian nilai-nilai budaya, kesatuan masyarakat, dan perkembangan ekonomi dalam suatu wilayah. Teori kedua human capital theori, menurut teori ini pendidikan memainkan peranan dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang terlatih, berdisiplin, memiliki sikap yang  inovatif, berwirausaha, mengembangkan diri, serta mampu merintis dan mengembangkan berbagai sektor ekonomi di dalam lingkungan kehiduapan. Dan teori ketiga, social movement theory, memberikan makna bahwa, program pendidikan dirancang dan dilaksanakan secara terpadu  dengan program-program lainnya dalam gerakan pembangunan masyarakat. Fungsi pendidikan adalah memotivasi dan membantu peserta didik dalam mengembangkan sikap, pengetahuan, keterampilan, dan aspirasi serta untuk meningkatkan kemampuan berpartisipasi dalam upaya bersama guna meningkatkan taraf hidup dan kehidupan masyarakat ( Bengt Karlof dan Ostblom,1994:68)

       Bila kemajuan teknologi, ekonomi, keberbangsaan, dan kebernegaraan merupakan sebagian hajat pembangunan, jelas bahwa pendidikan ditafsir sebagai upaya penumbuhkembangan segenap potensi manusia. Ada keyakinan bahwa  dengan pendidikan manusia dapat mengejawantah dalam wujud yang lebih bermutu. Bermodal pendidikan baik manusia mampu menyerap, mengembangkan dan meneruskan anasir-anasir wigati kebudayaan masyarakat.

       Everet M. Rogers dalam bukunya Communicarion Technology,(1995:96)  menggambarkan bahwa ditinjau dari segi ekonomi, masyarakat berkembang dari masyarakat ekonomi agraris (agricultural economics society), menuju ke masyarakat ekonomi industri (industrial economic society), dan terus menuju masyarakat ekonomi informasi (information economics society). Menurut Rogers, masyarakat ekonomi agraris dimulai sekitar 10.000 tahun yang lalu, ciri-cirinya adalah (1) kegiatan penduduk berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar terutama kebutuhan pokok, (2) pekerjaan lebih mengandalkan kekuatan fisik dengan perkakas yang sederhana, (3) lapangan pekerjaan penduduk adalah pertanian dan sebagian besar penduduk  adalah petani, (4) media untuk mentransfer pesan satu arah.

       Masyarakat ekonomi industri telah dimulai di inggris pada tahun 1750 yang ditandai dengan (1) makin bertambahnya zona pengembangan industri besar dan padat modal, (2) sumber daya utama adalah energi, dan modal utama untuk kemajuan adalah uang dan alat canggih, (3) konsentrasi pekerjaan adalah pabrik, (4) teknologi dasar adalah mesin, (5) media yang digunakan adalah media elektronik. Sedangkan masyarakat ekonomi informasi menurut Rogers mulai mucul tahun 1950 di Amerika Serikat dengan diatandai oleh: (1) kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi,, dan informasi, (2) lapangan kerja yang dominan di bidang informasi, (3) teknologi dasar adalah elektronika dan komputer, (4) lembaga pemicu kemajuan adalah pendidikan dan riset, ( 5) media komunikasi adalah media interaktif ( Pascoe Susan, 1998:102)

 

D.    Jika Lembaga Pendidikan Menjadi Agen Kaum Kapitalis (Prinsip Korporasi)

       Belakangan ini semakin merebak dan cenderung mengkhawatirkan semua pihak mengenai sistem pendidikan kita di tanah air. Kekhawatiran ini beralasan sebab pada akhirnya dunia pendidikan akan menjadi ladang bisnis  untuk mengeruk keuntungan. Karena sistem pendidikan kita mengatur setiap kekayaan yang dihasilkan oleh usaha pendidikan dan tidak dikembalikan untuk kepentingan dunia pendidikan, yaitu untuk kepentingan peserta didik dalam proses pembelajaran, pelaksanaan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat, dan seterusnya tidak dapat menjamin pengelolaan pendidikan secara profesional dan bertanggungjawab serta memarjinalkan hak-hak para peserta didik.  Serta pada akhirnya tidak bisa diharapkan menjadi solusi bagi peningkatan mutu pelayanan pendidikan kepada peserta didik.

       Meski UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas  memberi panduan  yang jelas bagi lembaga pendidikan namun prinsip korporasi yang menjadi roh dari UU ini, tidak bisa mencegah  terjadinya praktek komersialisasi dan kapitaliasi dunia pendidikan. Sebab segala kekayaan  dan pendapatan dalam pengelolaan pendidikan dilakukan mirip dengan korporasi, dan tidak digunakan untuk kepentingan peserta didik (Ben Senang Galus, Bernas 2/5.2005).

       Apologi terbatasnya APBN  memaksa pemerintah mengurangi pos-pos keuangan ke bidang tertentu. Sektor pendidikan pun tida luput  dari hal itu. UU Sisdiknas  sepertinya menambah keprihatinan berbagai pihak akan komitmen anggaran pendidikan.

       Sejak awal pengelolaan lembaga pendidikan menjadi korporasi, banyak masyarakat mengecam akan pola kebijakan tersebut. Pasalnya, paradigma yang dipergunakan dalam mengelola suatu institusi pendidikan adalah paradigma liberal dan berlogika pasar dan syarat dengan neoliberalisme. UU Sisdiknas menjelaskan bahwa biaya pendidikan  berasal dari masyarakat dan pemerintah.  Dari sini  jelas pemerintah mencari mitra dalam hal pembiayaan pendidikan. Nuansa privatisasi atau upaya pelepasan tanggungjawab pemerintah dalam menyelenggarakan dan  membiayai pendidikan juga terlihat dalam legalitas pndidikan.

       Pemerintah sengaja melegalkan praktek korporasi pendidikan dengan dalih otonomi pendidikan. Isu otonomi merupakan alasan naïf yang dibuat oleh pemerintah. Konsep otonomi pendidikan berawal diterapkannya link and match  di Eropa (Jerman), yang berarti kegiatan ekonomi secara makro ditujukan untuk memenuhi kebutuhan stakeholders sehingga perlu adanya kebebasan dalam pengelolaan pendidikan.

       Secara sengaja pemerintah mereposisi perannya dari penanggungjawab tunggal pendidikan menjadi hanya fasilitator. Pendanaan pendidikan yang merupakan tanggungjawab pemerintah sesuai amanat UUD45, lebih pada upaya melepaskan tanggungjawab negara. Langkah demikian pemerintah nyata-nyata  inskonstitusional terhadap UUD45. Yang paling berbahaya  adalah dampak dari perubahan tersebut, yaitu pendidikan kian menjadi barang mahal bagi masyarakat miskin dan kaum marjinal.  Pendidikan dijadikan produk jasa dan menuntut daya beli tinggi masyarakat. Argumen yang disodorkan pemerintah dibuat masuk akal, yakni otonomi institusi pendidikan mengelola keuangan secara mandiri demi memajukan mutu pendidikan (Ben Senang Galus, 2009:5).

       Jika kita simak lebih mendalam, UU Sisdiknas lebih mirip dengan pendidikan Indonesia prakemerdekaan. Hanya orang-orang yang secara  struktural berada di papan atas saja yang mampu menyekolahkan anaknya di sekolah bermutu. Bagi kalangan yang kekurangan secara finansial, pendidikan sebagai investasi jangka panjang kerapkali dikalahkan oleh tuntutan hidup jangka pendek. Mereka masih berfikir luas bagaimana agar dapat bertahan hidup ketimbang membangun pemikiran dan keadilan secara maksimal. Bila kondisi tersebut dibiarkan, makan akan muncul  sebuah lapis generasi baru ynag berpotensi untuk frustrasi dan marah. Sebab secara struktural generasi ini  terhambat untuk dapat maju dan meraih keberhasilan.

       Janji kemerdekaan sebagai jembatan emas, telah lunas dibayaran untuk kelas menengah baru Indonesia, tetapi belum lunas bagi masyarakat yang berada di kelas bawah. Masih ada utang amanah konstitusi untuk mencerdaskan bangsa; membuat akses pendidikan berkualitas untuk semua agar pendidikan dapat meningkatkan derajad dan kesejahteraan rakyat.

       UU sisdiknas membawa perubahan manajemen anggaran pendidikan. Di satu sisi semakin besarnya peran penyelenggara pendidikan, di sisi lain semakin kecilnya peran pemerintah dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkenaan dengan pengelolaan anggaran pendidikan.

       Kecilnya peran pemerintah, hendaknya penyelengagra pendidikan dalam menetapkan besarnya biaya pendidikan harus memerhatikan kondisi masyarakat yang sangat beragam. Dan untuk memastikan  tidak terjadinya keragaman yang terlalu luas dalam penetapan kebijakan anggaran biaya pendidikan, diperlukan kejelasan untuk menetapkan standar-standar biaya pendidikan yang menjadi tanggungjawab peserta didik.

       Agar tidak terjadi salah hitung dalam menetapkan anggaran pendidikan pihak penyelenggara pendidikan sebaiknya harus menghitung berapa sesungguhnya pengeluaran riil peserta didik untuk biaya pendidikan. Karena itulah yang riil terjadi dan diterima oleh penyelenggara pendidikan yang secara langsung menunjang proses pendidikan. Cara inipun masih belum akan mencakup seluruh biaya pendidikan; misalnya kesertaan pendidik dalam kegiatan studi lanjut atau mengikuti penataran yang dibiayai dari subsidi mahasiswa, yang dapat dihitung sebagai biaya tak langsung.

       Yang lebih menyedihkan lagi, meskipun UU Sisdiknas ini mengatur mengenai masalah pengelolaan pendidikan, tapi tidak ada satu pasalpun yang mengatur tentang peran pendidikan dalam mencerdasakan bangsa, proses dan pengembangan budaya, pengembangan intelektual, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seluruh pasal hanya mengatur mengenai tata kelola pendidikan. Inilah yang disebut oleh Darmaningtyas sebagai komoditas yang diperdagangkan dan untuk mencari keuntungan material ( Kompas, 23 Mei 2009) 

       Memang, bisa saja pihak penyelenggara memberikan kompensasi bagi para mahasiswa yang telah diterima. Kompensasi misalnya, dengan memberikan jaminan layanan pendidikan yang bermutu, penyediaan fasilitas baru, pengembangan perpustakaan, riset, biaya studi banding, dan lain-lain. Akan tetapi, bagaimanapun kompensasi ini tidak dapat lagi memberikan kemurnian pendidikan sebagai salah satu bidang yang menjadi hak setiap orang.

       UU Sisdiknas ini diduga terkait dengan berbagai kepentingan pihak-pihak dominan, terutama para pemodal. Di bawah payung kepentingan pemodal itulah, nasib pendidikan kita hanya menjadi penyangga industrialisasi. Pola hubungan pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan proses industrialisasi atau penguasa modal, bukan lagi kepentingan kemanusiaan sebagai misi sejatinya. Jika hal itu sungguh terjadi meminjam istilah Pascoe Susan (1998:99) justeru membiarkan pendidikan masuk dalam killing ground, sebuah area pembantaian.

       Dunia pendidikan yang merupakan layanan dasar itu dibiarkan  bertarung dengan sektor-sektor lain dalam penentuan prioritas program maupun anggaran. Tanpa dukungan dan kemauan politik (politicall will) yang memadai, sektor pendidikan pun kemudian berdarah-darah (bleeding), dan borok luka yang itu terus menganga hingga sekarang.

       Pemerintah selama ini terkesan tidak serius memberikan perhatian bagi terpenuhinya pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945. Ironis pula ketika biaya pendidikan yang minim tersebut ternyata banyak mengalami kebocoran yang mana kejahatan tersebut dilakukan oleh penyelenggara pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu, harapan kita kepada para elite politik agar kembali menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses memajukan bangsa agar negara ini bisa membuktikan dirinya masih ada.

       Selain itu penyelenggaraan pendidikan  ke depan hendaknya pemerintah lebih memerhatikan warga Negara yang kurang mampu secara ekonomi, dengan menyediakan anggaran pendidikannya dalam bentuk beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan lain-lain.

       Demikian pula pemerintah  harus melakukan pengawasan secara ketat praktek otonomi di perguruan tinggi khususnya pengelolaan keuangan, karena disinyalir telah terjadi ketidakadilan dalam memungut dana dari masyarakat, pada hal mendapat  bagian  yang cukup besar dari APBN. Dan pemerintah diminta untuk menertibkan pungutan yang dilakukan oleh lembaga pendidikan yang dapat menambah beban orang tua, sedangkan setiap tahunnya anggaran untuk fungsi pendidikan mengalami kenaikan.

       Sekilas, mengenai perkembangan pendidikan, memang terasa menggembirakan sebab pendidikan yang pada hakikatnya memiliki tujuan manusiawi bagi pengembangan sumber daya manusia di negara kita juga mendapatkan tempat. Namun, benarkah pendidikan kita benar-benar berdiri dalam jalur yang benar sesuai dengan misi kemanusiaan itu sendiri?

       Beranjak pada pertanyaan macam inilah yang membuat kita harus menilik kembali hakikat pendidikan, sebab pendidikan yang semarak berkembang saat ini, sesungguhnya bukan berdiri sendiri. Pendidikan yang kini tumbuh berkembang subur tentu saja akan terkait dengan kondisi sosial-ekonomi yang sedang berkembang. Bahkan, jika sedikit kritis, pendidikan juga bisa dilihat sebagai bidang yang akan terkait dengan perkembangan ideologi. Atau jika tidak demikian, dapat kita katakan bahwa pendidikan juga akan terkait dengan kepentingan-kepentingan politik, ekonomi para pemegang kekuasaan negara.

       Yang menarik adalah bahwa ternyata, betapa banyak lembaga pendidikan di negeri tercinta ini merangkap berbagai misi ganda. Tugas mencerdaskan bangsa bukan-satu-satunya tugas dan misi lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan kita telah berubahn jenis kelaminnya dari tugas mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi agen-agen kaum kapitalis.

       Buktinya lembaga pendidikan kita menjadi penyalur buku, sepatu, tas, pakaian seragam, komputer, dan sebagainya. Lalu pertanyaannya adakah korelasi berbagai macam pungutan dengan mutu pendidikan? Itulah pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat kepada lembaga pendidikan.

       Seperti diketahui bahwa pendidikan kita sudah tertinggal di kawasan Asean. Kalau ada sepuluh anggota Asean, maka paling banter pendidikan kita berada pada posisi buntut. Singapura, Thailand, Malaysia, Filipina berada di atas kita. Bahkan Vietnam sudah melampaui kita. Masalah inilah yang mestinya membuat prihatin sekaligus malu kita sebagai bangsa besar.

       Boleh jadi pada awalnya, penyediaan berbagai barang keperluan anak-anak baru didasarkan pada keinginan memberi bantuan kepada orangtua dalam menyiapkan fasilitas buat anak-anak baru masuk sekolah. Tujuannya memang amat mulia dan patut di didukung. Namun niat baik saja rupanya tidak cukup, sebab terbukti dijadikan sebagai ajang bisnis, mencari keuntungan buat segelintir orang, Kalau saja sekolah negeri melakukan yang demikian, adalah hal yang wajar, maka jauh lebih "ganas" lagi sekolah swasta.

       Pada tingkat satuan pendidikan, studi yang pernah dilakukan oleh Robinson (2003) mengungkapkan, hanya 35 persen hubungan antara besar kecilnya biaya pendidikan dengan berbagai indikator mutu pendidikan seperti angka partisipasi, angka drop out, prestasi belajar siswa dan sampai pada outcome pendidikan.

       Lebih lanjut Robinson mengatakan, memang benar, biaya pendidikan merupakan komponen masukan instrumental (instrumenal input) yang sangat penting dalam  penyelenggaraan pendidikan (baca mutu pendidikan), namun bukanlah satu-satunya. Sebab masih ada komponen lainya, seperti  guru, infrastruktur, kebijakan birokrasi, kondisi kesehatan masyarakat, kondisi geografis, dan lebih utama kondisi ekonomi masyarakat.

       Pemahaman dimaksud merentang mulai dari hal-hal sifatnya mikro hingga makro, antara lain meliputi sumber-sumber pembiayaan pendidikan, sistem pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi dalam penggunaannya, dan akuntabiltas hasilnya yang diukur dari perubahan kuantitatif dan kualitatif yang terjadi.

       Pelaksanaan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dengan mengacu kepada UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta berbagai perangkat peraturan yang menyertainya, mengakibatkan terjadinya perubahan dalam manajemen anggaran pendidikan. Diantarannya adalah semakin besarnya peranan sekolah di satu pihak, dan semakin berkuranngnya peran pemerintah dalam menentukan berbagai kebijakan yang berkenan dengan penggunaan anggaran pendidikan.

       Sementara lembaga pendidikan memang sejak semula campur tangan pemerintah sangat sedikit  atau bahkan tidak ada terutama dalam menentukan besar kecilnya biaya pendidikan paskah otonomi daerah.

       Mengingat kondisi-kondisi masyarakat kita sangat beragam dan untuk memastikan  tidak terjadinya keragaman yang terlalu luas dalam penetapan kebijakan anggaran biaya pendidikan oleh sekolah yang bersangkutan, maka diperlukan kejelasan sekolah untuk menetapkan standar-standar biaya pendidikan pada tingkat satuan pendidikan menengah.

       Sebab sebagian besar biaya pendidikan terutama sekolah swasta lebih mengandalkan dana yang bersumber dari keluarga siswa yang digunakan untuk membiayai berbagai komponen kegiatan pendidikan. Dasar perhitungannya adalah segala pengeluaran keluarga siswa  yang berkaitan dengan atau menunjang pendidikan siswa  di sekolah. Pengeluaran itu bisa berupa: (1) sumbangan langsung yang bersifat rutin seperti sumbangan pembangunan, (2) sumbangan langsung yang bersifat insidental yang diterima dan dikelola sekolah seperti uang pangkal atau sumbangan insidental lainnya (3) biaya tidak langsung baik disalurkan melalui sekolah maupun tidak melalui sekolah (dibelanjakan langsung oleh keluarga siswa), (4) biaya tidak langsung yang tidak dibayarkan melalui sekolah namun mendukung atau merupakan bagian dari biaya proses pendidikan siswa seperti biaya transportase, biaya penelitian, biaya study tour, biaya kursus, dan sebagainya.

       Seperti kita ketahui bahwa dana pendidikan berasal dari dua sumber utama, pemerintah dan keluarga (pengeluaran keluarga untuk pendidikan). Berdasarkan kedua sumber itulah sekolah semestinya bisa menghitung satuan biaya pendidikan. Berapa sesungguhnya pengeluaran riil orang tua murid untuk biaya pendidikan, dan berapa riilnya biaya dikeluarkan oleh pemerintah. Karena itulah yang riil terjadi dan diterima oleh sekolah dan dikeluarkan oleh keluarga siswa yang secara langsung menunjang proses dan hasil pendidikan di tingkat sekolah. Meskipun demikian, cara inipun masih belum akan mencakup seluruh biaya pendidikan di sekolah; misalnya kesertaan guru dalam kegiatan penataran atau pendidikan lanjutan yang dibiayai oleh pemerintah maupun subsidi oleh siswa, yang dapat dihitung sebagai biaya tak langsung.

       Di negara maju,  biaya yang dikeluarkan oleh orang tua siswa adalah hanya untuk menunjang proses belajar siswa, misalnya biaya kursus atau biaya privat. Sedangkan biaya pokok pendidikan seluruhnya menjadi kewajiban pemerintah. Lain halnya dengan kita di sini, hampir seluruh biaya pendidikan dibebankan kepada orang tua. Bahkan ada sekolah untuk menentukan diterima atau tidaknya siswa sudah disodori kuitansi atau sumbangan yang semestinya itu tidak perlu terjadi.

       Pendidikan, merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan sekaligus kualitas bangsanya. Jika dalam masa kolonial pun bangsa kita membutuhkan pendidikan yang berkualitas, sungguh bebal para pemimpin negara ini jika mengabaikan pentingnya pendidikan. Benarkah pendidikan kita diabaikan pemerintah dan para petinggi negeri di zaman reformasi ini? Mungkin saja pengabaian tidak terjadi secara vulgar seperti membubarkan sekolah dan mendirikan kantor-kantor partai yang mewah untuk tempat pengumpulan massa pemilu. Namun, jika melihat dari mahalnya biaya pendidikan, wujud pengabaian terhadap pendidikan itu bisa dibuktikan.

       Dari konteks inilah kemudian, otak para pengelola pendidikan dituntut kreatif untuk menghasilkan sumber-sumber dana. Beberapa kreativitas itu adalah menjual beberapa aset, "menodong" para alumni, terutama para alumni yang pernah mendapat beasiswa dari perguruan tinggi dirinya menimba ilmu. Hal yang paling menarik untuk dibicarakan adalah bahwa dalam rangka menghasilkan biaya tersebut pihak rektor tak segan-segan menawarkan bangku kuliahnya dengan tarif yang tinggi. Komersialisasi bangku kuliah dengan tarif antara Rp 15 juta hingga Rp 250 juta sebagai syarat masuk mahasiswa seperti ini bukan isu asing lagi.

       Sekalipun beberapa rektor menepis anggapan adanya komersialisasi, namun fakta telah menunjukkan banyak kasus, calon siswa atau mahasiswa yang berani mengisi formulir dengan biaya sumbangan uang gedung di atas rata-rata dipastikan diterima menjadi siswa atau mahasiswa dan mereka yang mencantumkan sumbangan di bawah perhitungan finansial sekolah atau  perguruan tinggi tak akan bisa diterima sebagai peserta didik.

       Memang, bisa saja pihak sekolah atau perguruan tinggi memberikan kompensasi bagi para siswa atau mahasiswa yang telah diterima. Kompensasi misalnya, dengan memberikan jaminan layanan pendidikan yang bermutu, penyediaan fasilitas baru, pengembangan perpustakaan, riset, biaya studi banding, dll. Akan tetapi, bagaimanapun kompensasi ini tidak dapat lagi memberikan kemurnian pendidikan sebagai salah satu bidang yang menjadi hak setiap orang hidup. Dengan demikian, yang dapat menikmati pendidikan unggulan hanyalah mereka anak-anak orang kaya. Lalu, bagaimana anak-anak muda yang cerdas, berdedikasi tinggi, berkemauan keras, dan punya segudang bakat tetapi tak bisa melanjutkan sekolah/kuliah karena tidak punya cukup uang? Yang demikian inilah persoalan klasik yang menimpa pendidikan di negara kita. Belum lagi secara kualitas sarana dan mutu pendidikan memenuhi standar globalisasi terpenuhi, anak-anak muda kita harus menelan pil pahit untuk terpaksa berhenti kuliah di usia produktifnya dalam rangka meningkatkan SDM-nya.

       Pendidikan memang tidak berdiri sendiri. Ia sangat terkait dengan berbagai kepentingan pihak-pihak dominan, terutama para pemegang kekuasaan politik dan kekuasaan modal. Terutama dalam keterkaitannya dengan industrialisasi, kepentingan kapitalisme dalam dunia pendidikan telah bisa kita saksikan sejak tahun 1970-an. Sejak tahun ini, bersamaan dengan tegaknya pilar ideologi pembangunanisme (developmentalism) yang dibawa oleh pemerintahan Orde Baru, pendidikan kita mulai kehilangan rohnya sebagai satu pilar utama peningkatan SDM yang memiliki visi kemanusiaan ( Mansur Faiz, 2005 :4)

       Di bawah payung pembangunanisme itulah pendidikan kita hingga sekarang saat situasi neoliberalisme tegak berdiri, nasib pendidikan kita hanya menjadi penyangga industrialisasi. Apa yang disebut dengan pendidikan model link and match mungkin tepat untuk memberikan label pada pendidikan yang tidak murni ini. Pola hubungan pendidikan harus selalu menyesuaikan dengan proses industrialisasi atau politik penguasa. Dengan demikian, pendidikan selalu diarahkan pada kepentingan-kepentingan dagang atau politik, bukan lagi kepentingan kemanusiaan sebagaimana misi sejatinya.

       Di bawah tekanan industrialisasi dan politisasi pendidikan inilah para peserta didik kemudian hanya bisa menjadi mesin-mesin industri yang harus tunduk dan patuh pada kepentingan pragmatis. Mungkin bukan hanya dalam perguruan tinggi, mahalnya pendidikan pada sekolah dasar pun sebenarnya telah terjadi. Biaya pendidikan yang harus ditanggung untuk memasuki sistem sekolah sangatlah beragam, tentu jumlahnya pun sangat besar, mulai uang bangunan, uang buku, uang seragam, uang ujian, belum lagi pungutan-pungutan lainnya.

       Dengan jumlah pengangguran tinggi dan pendapatan sebagian besar penduduk yang rendah, besarnya biaya yang harus ditanggung untuk bersekolah tidak dapat ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Sementara alokasi anggaran pemerintah untuk bidang pendidikan masih teramat rendah.

       Memerhatikan nasib pendidikan di negara ini, kita hanya bisa mengelus dada. Yang paling menyedihkan dari semuanya adalah bahwa pemerintah selama ini terkesan tidak serius memberikan perhatian bagi terpenuhinya pendidikan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia. Ironis pula ketika biaya pendidikan yang minim tersebut ternyata banyak mengalami kebocoran yang mana kejahatan tersebut dilakukan oleh para praktisi pendidikan itu sendiri. Oleh karena itu,  harapan kita kepada   pemerintah agar kembali menekankan pentingnya pendidikan sebagai proses memajukan rakyat agar bangsa ini bisa membuktikan bahwa Indonesia masih ada.

 

Sekian dan terima kasih,

Yogyakarta, 10 Mei 2010

 

Ben Senang Galus, Dinas Dikpora DIY
Kepustakaan

 

1.    Ben Senang Galus, Arah dan Kebutuhan Pendidikan Kita Masa Depan, Harian Bernas Yogya, 2 Mei 2005

2.    Ben Senang Galus, Pengangguran Terdidik dan "Unmacth" Perguruan Tinggi dan Unmatch Dunia Kerja, Harian Bernas Yogya, 9 September 2004

3.    Ben Senang Galus, Implikasi Pragmatik Pendidikan Menyongsong LIberaliasi Pendidikan, Warta Guru (majalah) Nomor VI, tahun II, 2005

4.    Ben Senang Galus, Penetrasi Birokrasi atas Pendidikan, Harian Surya, Surabaya, 1 Juli 1996

5.    Ben Senang Galus, Menjawab Tantangan Reorientasi Pendidikan, Harian Kedaulatan Rkayat, 22 Juli 2004

6.    Ben Senang Galus, Pendidikan Tinggi Yogyakarta Pascagempa, Harian Kompas, 24 Juni 2006

7.    Bendell, Tony, and Boulter, Louise, and Kelly, John, 1993, Benchmarking for Competitive Advantage, Pitman Publishing, London, United Kingdom.

8.    Chapman, Judith (ed), 1990, School-Based Decision-Making and Management, The Falmer Press, Hampshire, United Kingdom.

9.    Faiz Mansur, Kapitalisme dalam Pendidikan Kita, Pikiran Rakyat, 22 Juli 2005, Bandung

10.    Karlof, Bengt and Ostblom, Svante, 1994, Benchmarking : A Signpost to Excellence in Quality and Productivity, John Wiley and Soons, New York, USA

11.    Mudjito, Komitmen Politik Memajukan Pendidikan (Bagian I), Majalah  Info Mandikdasmen, April 2006

12.    Pascoe, Susan and Robert, 1998, Education Reform in Australia: 1992-97 (a Case Study), The Education Reform and Management Series, Education-World Bank, Australia.

13.    Roger,Everet M.,1995, Diffusion of Innovations, The Free Press, New New York, USA.


0 Komentar

Untuk mengirimkan komentar silakan login terlebih dahulu!

JURNAL LAINNYA

Kirim pertanyaan, saran, dan masukan anda kepada kami